Senja di Pulau Tanpa Nama

Senja di Pulau Tanpa Nama

 

SEPERTI Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah
ada. Jika dia memang ada, tentunya ia sedang berdiri di sana, di
pulau tanpa nama itu, dalam remang senja tanpa langit yang kemerah-
merahan tanpa mega bersepuh cahaya keemasan-emasan tanpa segala
sesuatu yang seperti biasanya membuat senja menjadi begitu sendu dan
mengharukan begitu indah dan menggetarkan–tanpa itu semua, tanpa
segala pesona senja yang akan membuat kita terlalu mudah jatuh cinta.
Tanpa itu semua. Tetapi hatiku sudah penuh dengan segala sesuatu yang
seolah-olah seperti cinta.

Senja tentunya telah turun di pulau tanpa nama itu menjadikannya
sebuah gundukan menghitam ketika permukaan laut seperti puisi seperti
permukaan agar-agar berwarna kelam yang terus menerus bergerak
pelahan dengan lembut dan memberi perasaan rawan. Betapa tidak akan
menjadi rawan ketika langit menjadi gelap, menghitam, dan muram?
Hanya ada sedikit mega di sana dengan sisa-sisa cahaya yang sudah
sangat terlalu remang dan meski keremangan bukanlah kegelapan tetapi
keremangan lebih memberi perasaan rawan daripada kegelapan.
Tentunya ke sanalah aku dengan perahu motorku terbang di atas ombak
dalam keremangan senja yang menguji ketabahan. Betapa tidak akan
menguji ketabahan–jika sesuatu yang sudah seolah-olah seperti cinta
masih juga tidak memberi jaminan kebahagiaan? Namun apakah masih
boleh disebut semacam cinta jika tidak terdapat kebahagiaan padanya
meski setidak-tidaknya sesuatu seperti kebahagiaan dalam penderitaan?
Tetapi siapakah yang terlibat dalam kebahagiaan dan penderitaan
sebenarnya–perempuan itu tidak pernah ada meskipun aku sedang menuju
ke arahnya, dan sesuatu yang tidak ada mestinya tidak perlu membawa
kebahagiaan maupun penderitaan.
Hanya ada senja dan seorang perempuan yang tidak ada tetapi yang
tetap menunggu dengan segala kemungkinannya dan aku sedang menuju ke
sana untuk menjemput kemungkinan-kemungkinan itu.

Lautan hanya remang, permukaan agar-agar yang mulus, halus, dengan
ombak berkecipak di tepi perahu motor yang meraung dalam keremangan.
Tentunya juga akan kucari sisa-sisa senja yang mestinya menjadi
bagian terindah dari senja. Itulah saat ketika matahari tenggelam
seutuhnya ke balik cakrawala dan langit hanya merah semerah-merahnya
senja–tetapi saat itu sudah lewat, aku terlambat. Aku tidak bisa
tiba di tepi pantai di pulau tanpa nama itu ketika senja sedang
kemerah-merahan ketika warna emas semburat di langit dan menyepuh
kulitnya yang tembaga. Perempuan berkulit tembaga itu mengenakan kain
sebatas dada dengan rambut tergerai kecoklat-coklatan dan warna
kulitnya yang tembaga menjadi keemasan-emasan dalam cahaya senja dan
tentunya aku sedang menuju ke arahnya.
NAMUN senja sudah sampai kepada batasnya. Perahu motorku melaju dalam
keremangan menuju ke pulau tanpa nama. Ini tidak seperti yang pernah
kubayangkan sebelumnya. Semula aku mengira akan melihatnya berada di
tepi pantai yang berkilat karena pantulan cahaya. Dia akan tampak
sebagai siluet yang berjalan di atas pasir yang basah dan karena itu
menjadi berkilat-kilat karena setiap butir pasir mengertap membiaskan
cahaya di pantai yang landai, begitu landai sehingga jejak telapak
kakinya yang mungil tampak memanjang lurus tak berkelok tak berbelok
dan hanya lurus karena rupa-rupanya ia berjalan dalam lamunan.
Siapakah kiranya yang bisa menebak lamunan seorang perempuan yang
sedang berjalan sendirian di pantai dalam senja yang keemasan tetapi
yang hanya tampak sebagai siluet dalam senja yang memang semula
keemas-emasan dengan bias menyilaukan pada pasir yang basah dalam
angin yang asin dan juga basah?
Aku melaju di atas perahu motorku menuju ke pulau tanpa nama itu,
yang masih saja ada sebagai pulau tanpa nama yang memang tak pernah
bernama sejak pertama kali manusia menemukannya. Mungkin saja pulau
itu pernah punya nama suatu ketika pada suatu masa entah kapan di
masa yang sudah terlalu silam bahkan berganti-ganti nama tetapi tiada
seorangpun mengetahuinya–mungkin saja, kenapa tidak, mungkin saja.
Namun aku sedang menuju ke sebuah pulau tanpa nama yang memang tak
bernama tak pernah punya nama tak perlu punya nama tak usah punya
nama untuk apa jika pulau itu memang tidak membutuhkan nama. Sebuah
pulau tanpa nama dalam senja yang kuharapkan sejak semula akan tetap
saja merah begitu merah ketika matahari tenggelam ke balik cakrawala
meninggalkan langit yang akan mendadak semburat keemas-emasan.
Haruskah ada yang lebih indah dari senja–meski tanpa kisah cinta di
dalamnya?
Tetapi tentunya aku akan terlambat. Senja yang keemasan sudah lewat.
Barangkali aku tidak terlambat, hanya saja dilahirkan beberapa saat
lebih lambat. Kalau aku dilahirkan beberapa saat lebih cepat, aku
akan tiba di tepi pantai di pulau tanpa nama itu tepat ketika
piringan matahari merah raksasa itu sedang terbenam saat perahu
nelayan lewat di jauhan melintas cakrawala. Senja yang keemasan dan
seorang perempuan dalam siluet berjalan pelahan meninggalkan jejak
panjang dengan lamunan di kepalanya ketika buih ombak menghempas ke
pantai yang landai–apakah pemandangan itu memang ada ketika aku
melihatnya? Aku melaju ke pulau tanpa nama itu mengejar matahari yang
terbenam seolah-olah begitu cepat ke balik cakrawala.

Tentunya aku memang akan terlambat, senja telah lama menghitam dan
menggelap.Aku sedang menuju ke pulau itu, yang tentunya telah menjadi
gundukan nan hitam nan gelap menantikan malam. Tentunya, tentu, dan
aku memang belum melihatnya–tentunya aku melaju ke pulau tanpa nama
itu, membayangkan perempuan berkulit tembaga itu lenyap ditelan
bayang-bayang menghitam. Senja meremang di atas lautan, kalau aku
tidak terlambat aku masih akan bisa melihatnya. Perempuan itu mungkin
masih setia dalam penantian di tengah keremangan. Tiada lagi senja
kemerahan, tiada lagi senja keemasan–tiada lagi pemandangan
mengesankan karena memang tiada lagi siluet seorang perempuan
berambut panjang mengenakan kain sebatas dada yang berjalan di pantai
dengan kaki telanjang membentuk jejak yang panjang di atas pasir
basah yang mengertapkan cahaya keemas-emasan. Tiada lagi, karena yang
tersisa hanyalah keremangan, dengan sisa sedikit saja cahaya di balik
mega. Sisa cahaya yang membuat keremangan bertahan dalam kegelapan.

TIADA lagi senja yang keemasan, tapi ini masih senja. Bukan senja
yang kemerah-merahan melainkan yang remang menjelang malam. Ini masih
sebuah senja di sebuah pulau tanpa nama yang menghitam dan perempuan
itu masih mungkin berada di pantai menatap lidah-lidah ombak yang
masih saja berdebur dan menghempas meninggalkan busa yang mendesis
ketika diserap pasir basah dalam gelap. Permukaan laut masih tampak
seperti agar-agar tentunya, agar-agar yang ungu membiru dan akhirnya
menggelap tapi masih saja tampak menjelang gelap yang tentunya akan
menjadi gelap segelap-gelapnya malam. Tentunya, karena ini masih
senja, senja yang nyaris gelap–nyaris, tapi belum menjadi benar-
benar gelap, dan apakah kiranya yang bisa kita saksikan dalam
kegelapan yang pekat, begitu pekat, sehingga tiada lagi yang bisa
dilihat selain gelap? Juga tentunya, karena aku tidak yakin semua ini
akan menjadi nyata, meski seperti mengharapkannya.Aku akan melaju
bersama perahu motorku berlomba dengan kegelapan itu menjemput
seorang perempuan yang menunggu.
“Ia akan berada di sana pada suatu senja,” kubayangkan seseorang
akan berkata,” jemputlah perempuan itu dan bawalah ia kemari dengan
segera. Kami sudah berjanji. Dia sudah tahu akan dijemput pada suatu
senja di pulau tanpa nama, tolong, sekali lagi tolong, jemputlah dia.
Bawalah dia kemari dengan segera. Aku sangat mencintainya. Dia sudah
lama menunggu dan aku sudah berjanji akan menjemputnya. Kami saling
mencintai, sangat saling mencintai, bahkan maut tak bisa memisahkan
hati kami yang telah menyatu, erat merekat, lengket seperti ketan.
Segeralah, pergilah, jemputlah dia segera. Jangan sampai terlambat.”
Mungkinkah aku membayangkan diriku sendiri untuk sebuah adegan yang
tidak akan pernah ada?
Seandainya, ya seandainya ini memang nyata, tentu aku tidak akan
pernah tahu apakah perempuan itu memang menunggu, sebetulnya tidak
menunggu, atau bahkan tidak ada hubungannya sama sekali. Sudah
terlalu sering aku melihat pemandangan semacam itu, seorang perempuan
yang berjalan di pantai seperti menunggu sesuatu, seorang perempuan
yang berjalan dalam siluet ketika angin yang asin berhembus dan
mengibarkan rambutnya dengan semacam lamunan dalam kepalanya. Tentu
aku tidak pernah tahu pasti apakah seorang perempuan di pantai dengan
kain sebatas dada yang melangkah dengan kaki telanjang meninggalkan
jejak-jejak memanjang di pasir basah yang mengertap keemasan sedang
melamun atau tidak melamun, tetapi mungkinkah, ya mungkinkah, ketika
berada di tepi pantai dalam senja dengan langit kemerah-merahan yang
membuat permukaan laut menjadi semburat jingga seseorang tidak akan
melamun sama sekali, sama sekali, sangat-sangat-sangat tidak tersirat
sesuatu sama sekali?

TETAPI, begitulah, apa yang tidak mungkin di dunia ini? Seperti juga
mungkin perempuan itu memang tidak pernah ada tetapi mungkin saja
ternyata memang ada. Ia bisa ada, bisa tidak ada, aku tidak bisa
memastikannya.

“Tolonglah,” mungkin memang diriku sendiri yang akan berkata lagi,
“tolonglah, jemput dia di sana sebelum senja menjadi begitu gelap dan
begitu muram. Senja memang indah, tetapi ketika berakhir ia menjadi
begitu rawan dan memberi perasaan kehilangan. Tolonglah, jangan
sampai dia tenggelam dalam kegelapan jangan sampai dia disapu malam
meskipun itu malam yang paling berbintang. Tolonglah, jemputlah dia
ketika senja sedang kemerah-merahan ketika senja sedang keemas-emasan
dan dia tampak sebagai siluet berjalan sepanjang pantai meninggalkan
jejak yang panjang di pasir basah. Tolonglah, jemput dia sebelum
senja menjadi gelap.”

Tentunya hampir semua pulau di balik cakrawala itu tidak bernama,
atau pernah punya nama tetapi tiada seorang pun di antara para
nelayan yang merasa ingat apakah ada satu saja nama meski untuk salah
satu saja dari begitu banyak pulau-pulau kecil di balik cakrawala
itu. Aku tentunya melaju dengan perahu motorku menuju sebuah pulau
tanpa nama yang belum pernah kuketahui keberadaannya tetapi yang
tentunya menjelang senja berakhir seperti ini telah menjadi gundukan
menghitam agak seram tanpa harus bersetan untuk membuatnya tampak
keramat seolah-olah menyimpan rahasia sejarah dan rahasia alam.
Kalau saja pulau itu ada apakah perempuan itu masih ada? Jika
perempuan berkulit tembaga berkain sebatas dada dengan rambut
kecoklatan berkibaran itu hanya menantikan sebuah perahu yang akan
menjemputnya setiap senja ketika langit masih kemerah-merahan setelah
matahari terbenam ke balik cakrawala apakah ia masih akan ada ketika
senja ternyata semakin lama semakin meremang, menggelap, dan
merawankan perasaan?Aku tidak akan bisa menjawab pertanyaanku sendiri
dan tentunya tidak perlu.

Seperti Kawabata, aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah
ada. Tidak pernah ada seorang perempuan yang berjalan dengan kaki
telanjang yang tampak sebagai siluet di pantai meninggalkan jejak
yang panjang pada pasir basah yang membiaskan langit senja yang
keemas-emasan. Tidak ada pulau dan tidak ada pantai. Tidak ada lautan
dan tidak ada senja. Tidak ada cinta dan tidak ada diriku.
Tiada cerita.

Makassar-M/Q 304-Jakarta,
September 2004/April 2005.

9 pemikiran pada “Senja di Pulau Tanpa Nama

  1. setelah mencoba membaca dan mencoba memahami maknanya, akhirnya saya tau betapa fananya kehidupan ini, jika yg antara ada dan tiada saja bisa membuat begitu pelik kehidupan, apalagi yg benar2 tampak sebagai probematika kehidupan??? sungguh pusing hidupmu kang seno…………. hhehhhehhhe………

Tinggalkan komentar