Drama

MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI ?

TIGA DRAMA KEKERASAN POLITIK 

                                   

“Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah memperkenalkan kasih sayang, kelembutan     cinta…”
“Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa mereka lahir dari batu?”
“Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.”

DIALOG di atas diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L Karim dan Landung Simatupang dalam pementasan “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta dan satu lagi dari Yogyakarta.

Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6-8 Agustus 2001, dan setelah ini akan digelar di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16-18 Agustus mendatang. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul, yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques, Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon soprannya.

Drama yang diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-Soeharto ini berwujud obrolan antara tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong, sedangkan Ibu bergaun panjang.

Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara, fase kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria (diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.

Dalam setting itu sekaligus setting politik sekarang yang cenderung ingin melupakan korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama ini serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk pada tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan kehidupan nyata;
antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya.

Apa yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.

***

“INI hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis cerpen sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia pernah bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar AN pada pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul Pertunjukan Segera Dimulai pada 1976. Belakangan, ia mementaskan Tumirah Sang Mucikari (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air.

Mengapa Kau Culik Anak Kami? sendiri, dari segi naskah dan strategi pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas kesenian dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana penantian, misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme” Becket, taruhlah dalam Waiting for Godot.

Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tak ketinggalan penata musik Tony Prabowo, dengan kematangannya telah menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak, setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup di republik ini.

Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan.

Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin kejelasan….” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?”

Sumber: KOMPAS, 09 Agustus 2001

19 pemikiran pada “Drama

  1. Kehilangan, selalu menjadi momok menakutkan, seolah ada dan tiada, dua kata yang berseberangan, padahal ia satu tak dapat dipisahkan, ya…kehilangan yang tersirat dalam drama Seno, di atas, kritikan yang terlontar hanya mampu terdefinisikan oleh luapan amarah, dera merah kesumba dendam yang sukar terlampiaskan. Semoga kita masih mampu menerima kehilangan, sepanjang hidup masih mampu di sandang, karena ia adalah pasti, entah dimana, bagaimana, dan dengan cara apa.

  2. Kumpulan tiga drama yang sangat menggugah. Warna ngeblues cukup memberi rasa di beberapa karya. Seperti di cerpen Taksi Blues.
    Sangat penasaran dengan pementasan ketiganya di atas panggung. Mas, kalo ada pementasannya, mohon informasi. Trims…

  3. mas….saya guru ekstrakulikuler di smp saya kuliah ekonomi tetapi dengan kecintaanku pada drama saya rela mennghambatkarirku yang bekerja pada bank swasta karena saya ingin membagi ilmu saya tntang drama…..apakah saya boleh mementaskan naskah drama ini……kalo bisa dikirim ke emailku…besar harapanku bisa mementaskan drama ini…thanks b4

  4. salam kenal, mas!
    Saya Pinto Anugrah, penulis muda dari Padang.

    Saya sudah lama membaca naskah drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami” pada tahun 2004. Dan saya banyak belajar untuk menulis naskah pada awalnya dari naskah tersebut.

    Hanya itu, salam.

    Pinto Anugrah
    anaklanun.wordpress.com

    1. hai pinto.. apakah kamu dapat membantu saya? saya butuh naskah darama mengapa kau culik anak kami.. jika dapat tolong kabari saya secepatnya ya.. trimakash..

  5. Om Mira, Aku Onny nieh, kapan main keyogya dan sekaligus bawa oleh oleh bukunya blom pernah buku Om dada di kkoleksi Papa, rumah papa udah pindah di kota gede.
    perum wirokerten jl sawo no 6 banguntapan kotagede bantul. telp 0274 377861- 451414
    trim kalo udah kebaca ini Om

    1. noted — jika sempat pasti akan sowan, sedih waktu denger Mbak Titik meninggal; unggah dong fofo Nana, Renny, dan semuanya di sini. Salam untuk Papa

  6. saya kesu;itan mencari buku mengapa kau culik anak kami? tiga drama kekerasan politik Seno Gumilar Ajidarma.
    saya berada di semarang,kalau boleh tau dimana ada yang jual buku tersebut?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s