Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra harus Bicara
Diterbitkan Oleh Bentang Budaya
Cetakan I Edisi I, Oktober 1997
Cetakan II Edisi II, September 2005
Daftar Isi:
1. “Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran”, harian Kompas, Minggu 3 Januari 1993.
2. “Cerita Pendek dalam Masa Depan Serba Pendek”, bahan diskusi Cerpen dalam Industri Media, Aula Gedung Prioritas, harian Media Indonesia, 1991.
3. “Cerita Pendek dan Realitas Indonesia”, dibacakan diskusi The Current Situation of Fiction and Short Story in the National Context, Asean Write Workshop, Bangkok & Chiang Mai, Thailand, 27 November – 6 Desember 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frans Sartono.
4. “Tentang Empat Cerpen”, dibacakan dalam Kuliah Taman, IKIP Muhammadiyah Jakarta, Kebun Raya Bogor, 28 November 1993. Dimuat kembali dalam Basis, Juli 1994.
5. “Trilogi Penembak Misterius: Obsesi Mayat Bertato”, dibacakan dalam diskusi Obsesi dan Proses, IKIP Muhammadiyah, Jakarta 29 Desember 1995. Dimuat dalam koran kampus IKIP Padang, Ganto No.39/Th.V/Februari 1995.
6. “Jakarta Jakarta & Insiden Dili: Sebuah Konteks untuk Kumpulan Cerpen Saksi Mata”, dimuat pertama kali sebagai pengantar Eyewitness (Sydney: ETT imprint, 1995). Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jan Lingard.
7. “Catatan Tambahan”, diterjemahkan ke bahasa Inggris dan dibacakan oleh Jan Lingard, ketika penulisnya batal hadir dalam rangkan terbitnya Eyewitness, pada International Writers Forum, Spring Writing Festival, Sydney, Sabtu 16 September 1995, atas permintaan pihak-pihak tertentu.
8. “Dari Sebuah Dokumen: Serba Serbi Fakta Fiksi”, dibacakan dalam diskusi bersama Lembaga Studi Pers dan Pembangunan,Jakarta, 1996.
9. “Ruang dan Waktu dalam Taman dan Genta”, dibacakan dalam sarasehan Para Penulis Indonesia-Perancis Sumber Sebuah Karya, 5-7 November 1996, Bentang Budaya, Jakarta. Dimuat dalam jurnal kebudayaan, kalam edisi 9, 1997.
10. “Jalan Seorang Penulis”, dibacakan dalam rangfka Hari Chairil Anwar, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 28 April 1997.
11. “Penulis dalam Masyarakat Tidak Membaca”, pidato penerimaan South East Asia (SEA) Write Award 1997, The Oriental,Bangkok, 26 September 1997. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Frans Sartono. Versi bahasa
Indonesia maupun Inggris dimuat dalam brosur Satrawan Indonesia/Indonesia Writer (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1997).
12. “Pertanyaan Seorang Penulis”, pidato dalam Baca dan PEmbahasan Cerpen Seno Gumira Ajidarma, syukuran penerimaan SEA Write Award 1997, Dewan Kesenian Jakarta. Galeri Cipta
Taman Ismail Marzuki, Jum’at 10 Juli 1998.
13. “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri (1)”, dibacakan sebagai seri ceramah dan diskusi di University of Victoria, Victoria B.C., 4 Februari 1999; University of British Columbia, Vancouver, 10 Februari; University of Washington, Seattle, 11 Februari; Takeshi Kaiko Memorial Asia Writers Lecture No.8 yang diselenggarakan The Japan Foundation di Tokyo, 20 Februari; Osaka, 25 Februari; dan Hiroshima, 27 Februari. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Michael Bodden dan ke bahasa Jepang oleh Mikihiro Moriyama. Dimuat dalam Indonesia No.68 (Cornell University, Oktober 1999); dimuat kembali dalam Seno Gumira Ajidarma, Jakarta at A Certain Point in Time (
Victoria B.C. : Centre for Asia-Pasific Initiatives 2002)
14. “Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri (2)”, versi ringkasan yang ternyata jadi baru, dimuat dalam Buletin Informasi Pusat Kebudayaan Jepang Nuansa, edisi Februari-Maret 1999.
15. “Cerita Pendek tentang Sebuah Proses”, dibacakan dalam Workshop Penulisan Cerpen Ikatan Remaja Muhammadiyah, sabtu 29 April 2000,
Yogyakarta.
16. “’Timor Timur’ dalam Kisah Pertukangan”, dibacakan untuk diskusi penjelmaan Fakta, Penyajian Fiksi, Senin 6 November 2000, dalam Lokakarya Historical Memory, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia & Yayasan Lontar, Puskat Audio Visual Studio, Yogyakarta.
17. “Sebuah Cerita tentang Berita-berita Tak Penting”, dibacakan dalam diskusi di Univesity ofVictoria B.C., 15 Oktober 2001. Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Michael Bodden. Dimuat dalam Ajidarma (2002).18. “Menulis adalah Melihat ke Luar Jendela”, dibacakan dalam diskusi Kelas Penulisan, Fakultas Psikologi UniversitasIndonesia, 1 Oktober 1999.
saya telah meresensi buku (tepatnya roman) kalatidha. tapi aku belum tau apa sih yang saudara mau?
teriamakasih.
salam
oya, aku suka jazz, parfume dan insiden…banyak meneliti jazz dan parfum ya..bung seno (tepatnya saya panggil PAK)
mm…apa aya yang harus saya omonkan..
Sip!
Sekarang sudah tidak ada pembungkaman jurnalisme. Lalu bagaimna sastra harus berperan? Jurnalisme sekarang malah meneror, memaksa masyarakat untuk mengikutinya. Sementara sastra juga tak berdaya memerangi FPI, jamaah islamiah dan segalanya.
Muhajir
Paling tidak dengan sastra, orang2 yang membacanya akan tahu (dan sukur2 ‘berbuat’ ) tentang ‘sejarah’ orang2 (baca rakyat) yang tidak punya sejarah yang tidak pernah dapat ditemukan dalam setiap buku sejarah terbitan pemerintah (baca penguasa). Well??
jika jurnalisme bicara lewat fakta, sastra bicara di alam pikiran-siapa yang bisa membunuh pemikiran?
jurnalisme kini tidak banyak yang bagus,begitupun dengan sastra. hanya saja di antara keduanya terdapat perbedaan; antara kata dan makna
Jurnalisme semakin tak mampu melepaskan jeratan dari kapitalisme media yang mengarah pada pasar. Sulit kiranya mendambakan sebuah jurnalisme anti sosial yang mampu menjadi pengontrol. Kaum jurnalisme sekarang lebih banyak berlindung pada pemilik modal.
Sastra menjadi satu-satunya jalan yang liar untuk meludahi ketidakberesan sosial. Kaum sastrawan sekarang lebih mampu berdiri sendiri. Tapi, mereka tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari kemiskinan, antikemapanan dan keterasingan.
sip…
ada yang terlupa. seno mestinya juga menyinggung peran dominasi penulis dalam media-media mainstream. Polemik sastra yang terjadi selama ini, dengan permainan wacana, merupakan bukti salah satu indikasi bahwa ada kelompok-kelompok penulis di pusat yang memainkan peran!!!
ada kecenderungan Kompas membiarkan dominasi ini. lihat saja setiap edisi minggu, esai-esai tentang krisis dalam garapan sastra muncul penuh tendensi kuasa wacana. kehidupan sastra dan kepenulisan akhirnya menjadi terpusat!
saya menggugat itu dari garis margin, Lombok.
Sastra di Indonesia tak pernah sampai bersuara–meminjam istilahnya Arifin C. Noer—sastra atau kehidupan kesenian kita hanya sekadar bunyi, tapi tak bersuara. Arifin meinyunggang itu lewat bahasan kehidupan teater. Sastra tak pernah dibaca, ia sekadar disinggung, disebut angin lalu. Lalu apanya yang berbicara?
saya mau nanya, ini di jadikan buku apa tidak?
dimana saya bisa mendapatkan buku ini?
thanks
humes221b@gmail.com