Apakah Hidup Seperti Jazz ?

 Apakah Hidup Seperti Jazz ?

 

 

Jazz isn’t music. it’s language. Communication.
(Enos Payne)

 

JAZZ – apakah kita pernah tahu arti kata itu ? Dalam album panjang Wynton Marsalis, Soul Gesture in Southern Blue, yang terdiri  dari tiga volume. Terdapat sebuah lagu berjudul So this is Jazz, Huh? di Volume 1. Dalam pengantar yang ditulis Stanley crouch untuk album itu, dikatakan bahwa pertanyaan itu diucapkan sepasang penonton, ketika tiba di sebuah  konser jazz.

“Barangkali mereka pernah mendengar jenis musik yang pop dari jazz, dan datang dengan penuh harapan, ”tulis Crouch, “musik pun dimulai, ternyata suatu blues dengan tonalitas mayor, suatu suara sendu menggunakan cengkok rinci yang mengingatkan kepada suara radio di larut malam. “Maka, satu dari pasangan itu bertanya ,”Do we like this?” dan dijawab sendiri berbarengan,”So this is jazz, huh?”

Anehnya, judul lagu yang sama muncul lagi dalam volume 3, tapi lain bunyinya. Untuk lagu itu, Stanley Crouch, yang nampaknya merupakan pengamat khusus karya-karya Whynton Marsalis, menulis: So this is jazz, Huh? Adalah pertanyaan yang selalu diucapkan  mereka yang tidak mengerti. Namun sekali mereka menemukan, well, mereka tidak akan pernah lupa.”

Katanya sih jazz bisa berarti apa saja. Tergantung dari mana mulainya. Ada yang bilang jazz itu berarti seks. Busyet. Tentu  bukan itu yang kucari. Toh tidak pernah ada jawaban memuaskan dari sumber apapun. Tepatnya, tidak pernah ada jawaban final. Bukalah buku-buku tentang jazz yang standar: Early Jazz dari Gunther Schuller,  Jazz Style oleh Mark C.Gridley,  atau Jazz yang disusun John Fordhman  dan penuh gambar-gambar itu-kita tidak akan pernah tahu apa persisnya arti jazz.

Meski begitu, toh ada satu pengertian yang rasanya kusukai. Bacalah kalimat Fordham berikut:”Ketika penulis F.Scott Fitzgerald menyatakan datangnya abad jazz pada tahun ’20-an, ia maksudkan kata jazz untuk menjabarkan suatu sikap. Anda tidak usah tahu musiknya untuk memahami rasanya…”Tentu Fitzgerald menyatakan pendapatnya, dalam konteks pembebasan sebuah sub kultur dari rasa rendah diri, yakni sub kultur budak-budak hitam amerika keturunan afrika, namun yang penting dari pernyataan itu- kita tidak usah menjadi ahli musik untuk menyukai jazz. Sehingga tidak penting jazz itu apa, yang penting kita dengar saja musiknya. Rasa yang ditularkannya. Emosi yangditeriakannya.Jeritan yang dilengkingkannya. Raungan yang mengemuruh memuntahkan kepahitan.

Itulah uniknya jazz bagiku. Ia seperti hiburan, tapi hiburan yang pahit, sendu, mengungkit-ungkit rasa duka. Selalu ada luka dalam jazz, selalu ada keperihan. Seperti selalu lekat  rintihan itu-rintihan dari lading-ladang kapas maupun daerah lampu merah. Ketika menuliskan ini, aku teringat lagu Berta, Berta dalam album Branford Marsalis, I Heard You Twice The First Time, sebuah nyanyian bersama tanpa iringan instrument, tanpa bermaksud menjadikanya suatu paduan suara yang canggih, diiringi suara rantai terseret. Itulah rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kaki para budak- rantai perbudakan. Mereka tidak menjadi bebas karena nyanyian, namun tak ada ranatai yang mampu menghalangi mereka menyanyi. Itulah hakikat jazz: pembebasan jiwa.

Tentu saja setiap jenis musik, bahkan setiap jenis kesenian bisa dinyatakan hakikatnya sebagai pembebasan jiwa. Namun dalam jazz, kata pembebasan itu hadir secara konkret dalam suatu ruang yang bernama improvisasi. Ya, barangkali lebih tepat dikatakan hakikat jazz adalah improvisasi. Dengarkanlah bebop, perhatiakan suara instrument itu satu per satu, maka kita akan mendengar betapa saxophone Charlie Parker saling kejar-mengejar denag terompet Dizzy Gillespie. Dengarkanlah apa saja dari jazz, maka kita akan mendengarkan instrumen  yang berdialog. Itulah beda jazz dengan jenis musik lain. Jazz adalah suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan dan tanpa rencana.

Memang ada kerangka sebuah lagu, namun setiap musisi bisa  memainkan instrumennya secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Bersama waktu, suara-suara setiap instrument itu mengalir bagai mengikuti suatu garis penunjuk, namun mereka tidak betul-betuk selalu mengikuti garis itu, kadang-kadang mereka berbelok entah kemana, menghilang lantas kembali lagi, atau memang mengikuti garis itu, tapi sambil meloncat-loncat, menari, jungkir balik- semuanya secara imprivisatoris dan tidak saling merusak. Bila tiba saatnya satu instrument ditonjolkan, dimana sang musisi mendemonstrasikan kepiawaian individualnya, yang lain secara otomatis tahu diri untuk tidak mengacaunya. Suara-suara itu saling sahut-menyahut. Seringkali suara itu seolah-olah begitu kacau, tapi bukan karena lepas kendali, melainkan karena mereka memang memainkan ketertiban, bermain main dengan keharusan, serta bercanda dengan peraturan musical. Suara-suara sengaja dibelokkan, dipelesetkan, bahkan di jungkir balikkan. Tentu saja permainan dengan kekacauan ini hanya bisa dilakukan para musisi yang sudah beres urusanya dengan ketertiban, tapi yang merasa segenap kaidah musical tak cukup menyalurkan kebutuhannya untuk bicara lewat instrumennya. Mereka tidak ingin memainkan sebuah lagu, mereka ingin mengungkapkan kata hatinya,tapi bahkan bahasa kata tak pernah cukup mewakili kata hatinya itu,maka betapa terampilnya mereka yang mampu menyampaikan kata hati itu lewat suara instrumennya.Seringkali begitu menyentuh suara-suar itu, begitu rinci menggambarkan setiap inci kata hati.Kita mendengar rasa, dalam bahasa suara.

Itulah jazz, mendengarkan jazz seperti mendengar bahasa percakapan, yang tidak direncanakan.Sekarang bisa kumengerti, mengapa rekaman lama para dedengkot seperti Charlie “Bird” Parker dikeluarkan kembali, tapi bukan hanya versi release saja, melainkan seluruh versi yang sempat terekam, karena setiap versi itu memang lain-lain.Bagaimana mungkin improvisasi bisa sama? Apalagi improvisasi seorang jenius. Dalam album Bird and Diz yang dikeluarkan tahun 1986, berdasarkan rekaman tanggal 6 juni 1950 di new york, kita bisa mendengarkan master take maupun alternate take dari lagu-lagu macam An Oscar for Treadwell, Mohawk, my melancholy baby dan relaxin’ with lee. Lagu Leap Frog bahkan hadir empat kali, karena tambahan dua alternate take yang merupakan penemuan hasil riset.Sebelumnya dua alternate take ini tidak pernah terdengar. Tersembunyi dan membisu  dalam tumpukan pita-pita dokumentasi verse records selama 36 tahun. Bagiku peristiwa berbunyinya kembali rekaman yang tadinya merupakan versi tidak terpakai itu, yang tidak berlaku bagi rekaman para jenius, merupakan jasa teknologi yang harus disyukuri. Maka dengarlah betapa setiap take dari lagu yang sama menjadi lain hasilnya, karena suasana hati para musisi memang akan menjadi lain pada momen yang berbeda. Setiap gerakan pada suasana hati yang berbeda ini akan memberi suara yang berbeda ketika instrumennya berbunyi. Dan ini tak pernah bisa diduga karena berlangsung seketika.Aku teringat sebuah adegan dari film New York, New York. Seorang pemain saxophone, yang dimainkan Robert Deniro, mengubah dengan seketika tempo permainannya, dari pelan kecepat, karena melihat Liza Minelli, berperan sebagai penyanyi yang menjadi istrinya, bersipa naik panggung, mungkin untuk berpartisipasi menyanyi. Perubahan tempo dan nada yang segera ditanggapi para musisi lain ini membuat Liza Minelli batal naik panggung. Robert Deniro melakukannya sebagai ekspresi ketidaksukaan dan kemarahan, lewat instrumennya. Ini memang salah satu contoh terbaik, tentang bagaimana jazz menjdi bahasa ekspresi suasan hati pemainnya, dengan seketika.

Bagaimana aku berkenalan dengan jazz? Entahlah. Barangkali telinga bawah sadarku sudah lama mendengarnya. Namun sejauh bisa kuingat, kenangan tentang jazz selalu membawaku ke sebuah gudang kumuh di tepi jalan yang menjadi tempat tinggal seorang kawan. Aku selalu datang kesana bila sudah capek menyusuri larut malam.Dari luar sudah terdengar suara-suara kekelaman itu, dari balik pintu yang selalu setengah terbuka, melepaskan cahaya lampu yang selalu redup.

“Musik apa ini, kok aneh?”

“Tapi enak ya?”

“Wah, maut.”

“Memang, tapi nggak jelas musik apa.”

Begitulah caraku menghbiskan malam pada suatu masa yang sudah silam, sebelum kembali menghindari matahari. Aku masih ingat betapa kumuhruangan itu, dimana terdapat sebuah tempat tidur susun yang hanya dilapisi sleeping-bag, poster Jimi Hendrix, kerangaka sepeda tanpa roda yang digantung terbalik dilangit-langit, meja penuh peralatan elektronik, sepeda motor butut, serta tape recorder rombeng itu, yang telanjang tanpa body– tapi mampu membunyikankembali suara-suara itu, yang meski kualitas suaranya kini boleh dianggap memprihatinkan, namun tak bisa menghalangi pesona saxophone yang baru belakangan bisa kukenali kembali sebagai permainan seorang John Coltrane, karena dulu kasetnya pun tak berlabel, dan smpulnya hilang entah kemana.
Terkenang masa lalu, terkenang kehidupanku, aku berpikir-pikir: Apakah hidup seperti jazz? Kehidupan, seperti jazz, memang penuh improvisasi.Banyak peristiwa tak terduga yang harus salalu kita atasi. Kita tak pernah tahu kemana hidup ini akan membawa kita pergi. Kita boleh punya rencana, punya cita-cita, dan berusaha mencapainya, tapi hiduyp takm selalu berjalan seperti kemauan kita. Barangali kita tidak pernah mencapai tujuan kita. Barangkali kita mencapai tujuan kita, tapi dengan cara yang tidak pernah kita bayangakan. Barangkali juga kita tidak punya tujuan dalam hidup ini, tapi hidup ini akan selalu memberikan kejutan-kejutanya sendiri. Banyak kejutan. Banyak insiden. Seperti jazz? Entahlah. Aku agak mabuk.

Kuhabiskan whisky-cola di gelasku. Kulihat arloji digital yang menunjuk waktu tanpa kesalahan. Dia belum datang, tapi aku seolah sudah mencium bau parfumnya.
 

*) dari Novel “Jazz, Parfum & Insiden”, Yayasan Bentang Budaya, 1996

9 pemikiran pada “Apakah Hidup Seperti Jazz ?

  1. Katanya sih jazz bisa berarti apa saja. Tergantung dari mana mulainya. Ada yang bilang jazz itu berarti seks. Busyet. Tentu bukan itu yang kucari. Toh tidak pernah ada jawaban memuaskan dari sumber apapun.

    =======================================
    Tentu saja tidak pernah ada jawabannya Om.. jawaban tentang musik JAZZ ada di hati masing-masing.
    Yang Bilang musik Jazz musik orang2 sukses dan orang gedongan. Malah ada yang bilah JAZZ adalah kehidupan. Berarti Orang hidup itu perlu JAZZ dong..?

  2. Sekali baca 1 bab langsung ketagihan, setelah selasai baca… mulai bingung… (barusan baca apaan yak) hwehehe 🙂
    Eniwei bang Seno makasih refrensinya tentang macam2 Parfum, dan musik Jazz itu sendiri, nambah info

    2 thumbs up

  3. Salam Kenal……
    sehubungan dengan ini saya mengundang rekan rekan yang peduli dengan musik indonesia untuk dapat hadir dalam pementasan musik mahagenta
    “Tradisional Phantom Of The Opera”
    di Graha Bhakti Budaya , Taman Ismail Marzuki Jakarta.
    Tanggal 3 Juli 2008.
    jam 20.00 s/d selesai.. Terima kasih
    salam budaya…..

Tinggalkan komentar