Sembilan Wali dan Siti Jenar

Diterbitkan oleh Intisari
Edisi I, September 2007
Edisi II, Maret 2008
Daftar Isi:

Pengantar
Bab I Maulana Malik Ibrahim
Bab II Sunan Ngampel Denta
Bab III Sunan Giri
Bab IV Sunan Bonang

Bab V Sunan Kudus
Bab VI Sunan Kalijaga
Bab VII Sunan Gunung Jati
Bab VIII Sunan Muria
Bab IX Sunan Drajat
Bab X Syekh Siti Jenar
Tentang Piring di Tembok Makam itu
Sekadar bacaan

 

9 pemikiran pada “Sembilan Wali dan Siti Jenar

  1. Oom seno mau pameran foto berkaitan dengan buku 9 wali dan siti jenar di CCCL Surabaya tgl 4-15 nov ya?
    Oom datang ga? Kapan?

  2. Mas, saya sudah meneliti kumpulan cerpen matinya seorang penari telanjang ke 2 skripsi dengan tinjauan struktural, eksistenasialisme, dan kriminologi. matur nuwun….. salam dari saya.

  3. Sembilan Wali di Masa Kini

    Seno Gumira Ajidarma, Sembilan Wali & Siti Jenar, Jakarta: PT Intisari Mediatama, 2007. ix + 208 halaman.

    Ziarah ke makam para wali atau tokoh keramat menjadi ritual agama yang penting bagi sebagian kaum Muslim di Indonesia. Penulis buku ini menggambarkan, “Sepanjang hari sepanjang musim sepanjang tahun, suatu ziarah terus menerus berlangsung selama 24 jam, membuat tanah Jawa jika dipandang dari satelit memperlihatkan prosesi tanpa henti dari ujung barat ke ujung timur dan kembali lagi. Para peziarah ini, bahkan ada yang berjalan kaki dari Jawa Barat ke Jawa Timur, dan nantinya akan kembali berjalan kali lagi.”
    Di kompleks pemakaman para wali itu senantiasa tersedia buku-buku riwayat sang wali, yang dijual bersama kembang, minyak wangi, menyan, tasbih, dan kitab doa Majmu Syarif. Namun buku riwayat sang wali itu isinya adalah khayal campur mitos belaka, wajahnya tak sedap dipandang, tata letaknya amburadul, dan pencetakannya menyedihkan.
    Dengan hadirnya buku ini, para penggemar peziarah boleh tersenyum lebar. Kini tersedia buku tentang kehidupan para wali yang informatif, dengan isi yang jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenaran –atau kebingungan– historisnya, memiliki tata letak yang sedap dipandang, dan dihiasi 137 foto yang menawan. Yang tak kalah penting, penulisnya adalah Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis mumpuni yang ditimbuni penghargaan di bidang sastra, yang kemudian mencapai tingkat pendidikan tertinggi di dunia akademis: doktor.
    Namun Seno menyatakan buku ini bukan kajian ilmiah, melainkan himpunan seri “artikel ringan” dari majalah Intisari. Berdasarkan pengalamannya ketika menyusun buku ini, Seno sampai pada kesimpulan bahwa bukan keberadaan historis para wali yang penting, melainkan keberadaan eksistensialnya. Karena itu tulisan dalam buku ini bersifat historik (historic), yakni mencari makna dari penafsiran subjektif yang berlangsung di sini dan sekarang dari suatu peristiwa sejarah; bukan melulu historis (historical), yakni usaha mencapai pengetahuan objektif pada masa lalu (hlm. viii). Tentu saja ini pilihan yang tepat, lantaran kebenaran historis –misalnya saja nama tulen seluruh wali– tidak dapat dipastikan. Bagi mereka yang menekuni ilmu sejarah, kesimpangsiuran historis ini bukan barang baru, tetapi di mata orang awam, kesimpangsiuran itu bisa jadi mengejutkan.
    Mengingat riwayat historis para wali itu membuat pening kepala, Seno senantiasa menyuguhkan beberapa versi historis tentang mereka, sejauh penelusuran data yang ia dapatkan. Seno juga menelusuri aneka versi itu. Umpamanya, ia menelusuri empat lokasi yang disebut makam Sunan Bonang, yakni: (1) di belakang Masjid Agung Tuban; (2) di bukit di pantai Utara Jawa, antara Rembang dan Lasem; (3) di Tambak Keramat, Pulau Bawean; (4) di Singkal di Tepi Sungai Brantas, Kediri.
    Paduan unsur historis dan historik mengenai para wali tersebut membuat buku ini nyaman dibaca. Secara historis misalnya, terdapat tiga orang yang disebut sebagai Sunan Kudus dan tidak satupun di antara mereka yang bisa dipastikan sebagai Sunan Kudus sejati. Toh secara historik, sampai hari ini kita temukan ciri khas Kota Kudus yakni banyak orang menjual soto kerbau dan sate kerbau. Inilah peninggalan wejangan Sunan Kudus, yang mewanti-wanti nenek moyang warga Kudus agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta. Soalnya, pada zaman itu banyak orang beragama Hindu, yang meyakini bahwa sapi adalah hewan suci. (hlm. 105).
    Kiranya inilah buku yang dapat memuaskan dahaga pengetahuan mengenai riwayat para wali dan makamnya. Sedikit catatan yang dapat diberikan adalah, pertama, unsur historik yang dianggap begitu penting oleh penulis buku ini, ternyata mendapat porsi lebih kecil ketimbang unsur historisnya. Ada baiknya buku ini memasukkan penjelasan dari Jamhari mengenai arti penting ziarah –sebagai unsur historik– bagi kaum muslim. (Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”, Studia Islamika, 8: 87-128, 2001).
    Kedua, buku ini memperlakukan sumber sejarah tanpa mempertimbangkan otoritas penulisnya. Karya maha pakar sejarawan seperti de Graf dan Pigeaud, diperlakukan sejajar dengan dengan karya spekulatif Sumanto Al Qurtuby.
    Ketiga, ada sumber yang dikutip dalam buku, tapi tidak tercantum dalam bibliografi, yakni Umar Hasyim, Sunan Muria, antara Fakta dan Legenda, 1993 (hlm 163).
    Toh sebagai sumbangan pengetahuan dan bahan perbincangan yang saling mencerdaskan, demikian harapan Seno atas karyanya ini, tentu saja buku ini berhasil melampauinya.*** (Edi Sudarjat)

Tinggalkan komentar